Sejauh apakah cinta pertama bisa membawa kita?
Sangat jauh, saya rasa. Itu yang saya alami.
Saya ingat, Ayah saya membelikan sebuah buku antologi puisi ketika usia saya belum menginjak
Sejak itu, mulailah saya mencoba mengeja makna di balik puisi. Terbata-bata.
Saya juga tidak lupa, saya sampai harus memperhatikan baik-baik bayangan saya tiap kali berjalan kaki menuju sekolah, hanya karena Sapardi bilang bahwa ia dan bayang-bayangnya tidak pernah bertengkar siapa yang harus berjalan di depan. Saya pun tidak.
Karena Sapardi pulalah saya mulai berani menangkap dan memenjarakan inspirasi di atas kertas. Padahal, biasanya saya hanya membiarkan mereka menggoda saya. Berlarian di sekeliling saya. Membuat saya sesak. Memang, tak selalu saya berhasil ‘menghukum’ inspirasi yang lewat tanpa permisi. Kadang saya tak bisa menuliskan apa pun, karena seolah-olah semua rasa telah diserap dan dituangkan Sapardi dalam puisi-puisi indahnya. Ia pencuri kata-kata. Pelukis imaji yang ulung.
Saya jatuh cinta kepada Sapardi. Kepada puisi. Di usia
Pun, ketika beberapa kali berpapasan dengannya, atau sekadar melihat sosoknya melintasi koridor, saya tidak pernah punya nyali untuk mengucapkan salam—apalagi minta tanda tangan dan ‘menyatakan cinta.’ Padahal, buku antologi puisi dan cerpennya selalu setia mendekam di tas saya hingga lusuh, menunggu disentuh Sang Penulis.
Empat tahun di fakultas itu, saya hanya sanggup memandangnya dari jauh, sembari menyimpan deg-degan dan sederet kekaguman dalam-dalam. Bodoh memang. Tapi toh cinta tak ada hubungannya dengan kecerdasan.
Sampai sekarang, tak ada satu puisi pun yang bisa menyentuh saya lebih dari puisi milik Sapardi. Ia inspirasi saya. Teman baik saya melewati malam-malam panjang tanpa terpejam.
Ia telah menuntun saya ke sebuah setapak panjang.
Jadi, kalau ada ungkapan First Love Never Dies, rasanya saya setuju.
salam,
www.malamberbintang.com
|